life is ur mine

Apapun yang terjadi hidup adalah milikmu dan hak mu adalah untuk memperjuangkannya!

http://www.kompasiana.com/www.spirituniversity.blogspot.com

Rabu, 05 Januari 2011

Mengartikan Bahagia

Adakalanya, dalam kehidupan ini, kebahagiaan yang dialami manusia mengalami pasang surut.

Hari kemarin, mungkin kita sedang berada dalam puncak kebahagiaan. Apapun yang mendasarinya. Entah memperoleh rejeki yang melimpah ruah. Karena mendapatkan keturunan yang telah lama diidamkan. Naik jabatan atau karena kabar gembira yang kita peroleh dari orang-orang yang kita cinta. Apapun sebabnya, kita boleh mengatakan : kemarin kita merasakan kebahagiaan.
Lantas timbul perasaan, jika kemarin kita berbahagia, kemudian hari ini-entah karena satu dan lain hal, kita mengalami keterpurukan. Tertimpa aneka musibah yang menyesakkan jiwa. Atau datangnya ujian yang bertubi-tubi di luar dugaan kita. Masih dapatkah kita berkata kita orang yang berbahagia? Seperti yang kemarin kita rasakan? Dan setelah mengambil kesimpulan atas kejadian hari kemarin dan hari ini, masih dapatkah kita disebut sebagai orang yang bahagia?

Atau, jika keadaannya dibuat berbeda. Begitu pula pertanyaan yang kita ajukan pada diri kita sendiri kita buat berbeda dari sebelumnya. Apakah kita akan menjawabnya dengan jawaban yang serupa.
Misalkan, hari kemarin adalah hari dimana kita menghadapi aneka persoalan hidup. Aneka kebutuhan hidup keluarga yang harus terpenuhi saat itu juga. Biaya sekolah anak yang sudah jatuh tempo sedangkan disaku kita tak ada sepeserpun uang. Atau ada salah seorang anggota keluarga kita yang sakit parah tanpa tahu dimana mencari dana untuk pengobatannya. Atau bahkan sampai meninggal dunia karena tak mampu mengobatinya. Akankah kita akan mengatakan bahwa kita adalah orang yang tidak bahagia? Bahwa kita adalah orang yang malang hidupnya?
Lantas, jika hari ini, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana jika hari ini kita mendapatkan rejeki yang melimpah ruah. Atau mendapatkan keturunan. Atau naik jabatan. Akankah kita mengatakan bahwa kita adalah orang yang berbahagia? Jika ya, wajarkah hal itu? Begitu mudahkah kita mengatakan bahwa kita adalah orang yang berbahagia? Dikarenakan sebab-sebab itu? Padahal kemarin kita merasa sebagai orang yang paling malang di dunia. Sebatas itukah pemaknaan kita terhadap kebahagiaan?
Dari sini, semestinya kita bangun dahulu pemahaman kita. Bahwa sudah menjadi ketentuan Allah yang tidak dapat kita ganggu gugat, yang berlaku pada alam ini (sunatullah). Dinamika kebahagiaan manusia dalam konteks kejiwaan, pasti mengalami pasang surut. Ada dinamika disana. Siapapun orangnya. Apapun statusnya. Dan bagaimanapun perilaku perbuatannya.
Orang bodoh mengalami dinamika kebahagiaan dalam konteks kejiwaan sama seperti yang dialami orang pintar. Anak kecil mengalami dinamika kejiwaan seperti yang dialami orang dewasa. Orang miskin mengalami dinamika kejiwaan yang sama seperti yang dirasakan orang kaya. Begitu pula yang terjadi pada seorang penjahat, ia pun mengalami dinamika kejiwaan seperti yang di alami orang shalih.
Lantas, bagaimana seharusnya kita mengartikan kebahagiaan itu?
Sebagai seorang muslim, cara kita dalam mengartikan kebahagiaan haruslah berpondasi pada sisi fungsi. Apakah fungsi kebahagiaan itu bagi kita sebagai seorang muslim?
Maka, jawabannya adalah sebagai penguat. Bahwa kebahagiaan itu harus kita jadikan sebagai penguat dari tujuan final dari kehidupan kita. Yaitu menggapai keridhoan dan Rahmat dari sisiNya.
Jadikanlah kebahagiaan kita dalam konteks kejiwaan sebagai penguat (sebagai energi besar) yang akan mensupport kita menjalankan misi kehidupan ini. Bahwa kita adalah seorang hamba, kita dicipta untuk mengemban misi khusus yang harus dijalani. Misi sebagai seorang abidin. Dan bahwa kita adalah seorang khalifah, yang mempunyai misi memakmurkan bumi atas landasan ridhoNya. Yang intinya adalah mencari bekal untuk perjalanan abadi nanti. Dan akan sadarlah kita, ternyata misi yang kita emban terasa lebih ringan bila jiwa kita bahagia.
Kemudian jika muncul pertanyaan lain. Bagaimana jika dinamika kejiwaan yang kita alami adalah kenyataan pahit tak berkesudahan, musibah yang tak pernah henti misalnya. Maka bagaimana pula cara kita memaknai kebahagiaan itu?
Maka jawabnya pun sama. Seorang muslim harus menjawabnya dengan jawaban yang sama. Bahwa setiap muslim harus memaknainya dengan berpondasi pada fungsi. Bahwa segala kepahitan hidup yang Allah berikan pada kita pasti ada fungsinya bagi kita.
Dalam konteks keislaman dan keimanan kita. Aneka kepahitan hidup yang kita alami adalah “Harga” yang harus dibayar oleh kita untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti, berupa jannah Nya.
Allah sudah mengingatkan kita akan hal itu di dalam Alqur’an. Allah bertanya kepada kita “Apakah kita dibiarkan mengaku beriman begitu saja padahal kita belum di uji olehNya?”
Dalam konteks yang lain disebutkan “Sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan”. Bahkan di dalam islam adanya penyakit yang diberikan Allah kepada hambanya adalah sebagai penggugur dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Tak jauh berbeda konteksnya dengan segala musibah yang Allah berikan kepada hambanya. Ia juga berfungsi sebagai penggugur dosa bagi sang hamba. Maka salah satu kebodohan yang sering meliputi manusia adalah sikap berkeluh kesah terhadap segala ketentuanNya. Suatu ketergelinciran yang sering menutupi mata hati manusia adalah menggugat TakdirNya. Dan yang tak kalah berbahaya adalah meratapi ketetapanNya yang memang harus terjadi.
Bertolak dari prinsip itu maka tak heran jika Rasulullah sendiri memuji semua perkara yang terjadi pada orang mukmin. Setiap perkara yang terjadi pada orang mukmin adalah baik baginya. Apabila ia diberi kebaikan maka ia bersyukur dan itu baik baginya. Sebaliknya, jika ia ditimpa ujian ia bersabar, dan itu baik baginya. Kebaikan yang dimaksud ini merupakan sinyalmen adanya ganjaran pahala dan datangnya keridhoan Allah. Adakah yang melebihi kebaikan dari datangnya keridhoan Allah?
Sebagai seorang muslim dan mukmin, kita harus memahami bahwa kebahagian dalam jiwa adalah energi besar bagi jiwa untuk berbuat ketaatan kepadaNya. Untuk beribadah kepadaNya. Maka seorang mukmin harus pandai mengelola situasi dalam jiwanya. Seorang mukmin harus pandai menyelimuti jiwanya dengan selimut kebahagiaan. Dari berbagai sumber ibadah yang disyari’atkan maupun dengan berbagai sarana relaksasi jiwa yang diperbolehkan syari’at. Berbagai ibadah yang disyari’atkan misalnya shalat. Rasulullah dan para sahabat dahulu menjadikan ibadah shalat sebagai wasilah untuk menghibur jiwa. Jika jiwa terasa penat maka shalatlah dermaga persinggahannya. Sedangkan berbagai sarana relaksasi jiwa yang diperbolehkan syari’at misalnya adalah bersenda gurau. Selama mengetahui adabnya dan tidak melampaui batas ia diperbolehkan syari’at. Dan jika kita cermati kehidupan di sekitar kita pada dasarnya setiap insan menyukai senda gurau.
Begitu pentingnya menyelimuti jiwa kita dengan selimut kebahagiaan. Sampai-sampai seorang ulama’ mengatakan “Diantara kenikmatan yang terbesar adalah kebahagiaan”. Karena jiwa yang kering akan menyebabkan pemiliknya kehilangan gairah untuk beribadah padaNya.
Maka dari itu, memahami makna kebahagiaan dalam konteks yang bijaksana adalah seni yang harus dimiliki oleh setiap mukmin. Karena tanpanya, seorang mukmin akan gagal dalam mengemban misi kehidupannya di dunia yang fana ini. Karena ia akan kehabisan energi sebelum sampai ditujuan finalnya. Karena ia menjalani kehidupan ini dalam kegersangan jiwa yang sama sekali tidak diajarkan oleh islam. Karena manusia tidak akan mampu bertahan lama dalam mengemban misi kehidupan dalam kegersangan jiwa. Dan karena manusia adalah mahluk yang penuh dengan keterbatasan.
Untuk lebih memperjelas uraian di atas marilah kita simak sebuah kisah heroik dari seorang shahabiyah bernama Khansa.
Khansa adalah seorang shahabiyah yang masuk islam di masa Rasulullah. Ia hidup hingga di masa kekhalifahan Usman bin Affan ra. Empat anak laki-lakinya gugur di medan perang Qodisiah, di masa khalifah Umar bin Khattab.
Sebelum keislamannya, ia adalah seorang wanita yang sangat vokal dalam memusuhi islam. Ia pernah membuat syair yang berisi ratapan panjang atas dua orang saudara laki-lakinya yang mati oleh pasukan muslimin, yakni Mu’awiyah dan Shaker di jaman jahiliyah.
Tapi kemudian, keislaman mengajarkan kepadanya akan cara memaknai kebahagiaan.
Ketika keempat anaknya mati sebagai syuhada, boleh jadi ia bersedih hati. Tapi hal itu tidak membuatanya terpuruk. Dan tahukah kita apa yang diucapkan olehnya ketika orang-orang yang berbela sungkawa datang bertakziyah padanya.
Subhanallah…ternyata yang terucap dari bibirnya adalah pujian pada Allah SWT. Ia berucap “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kemulyaan padaku dengan kematian putra-putraku sebagai syuhada. Dan do’akanlah aku agar aku dikumpulkan bersama mereka di tempat yang penuh dengan rahmatNya”.
Adakah kiranya wanita seperti Khansa di jaman ini?
Jadi jelaslah sudah bahwa shahabiyah yang bernama Khansa memahami benar makna kebahagian yang sebenarnya. Bahwa dengan kematian keempat putranya sebagai syuhada, ia meyakini bahwa hal itu adalah karunia besar dari Allah. Hal itu sebagai jalan kemulyaan baginya yang dikaruniakan Allah. Dan ia berharap kelak akan dikumpulkan bersama keempat anaknya yang gugur sebagai syuhada dalam jannahNya yang penuh dengan kenikmatan.
Bayangkan jika hal itu terjdi pada wanita lainnya? Terlebih lagi wanita di jaman ini, terutama wanita yang tipis keimanannya bahkan tidak beriman sama sekali? Ujian paling berat bagi seorang wanita, seorang ibu, adalah ketika ia harus kehilangan putra-putri nya. Maka besar sekali kemungkinannya wanita itu akan merespon peristiwa itu dalam konteks kejiwaannya. Bahwa hal itu adalah sebab baginya untuk berduka. Saat itu adalah saat baginya untuk bersedih…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan komentar anda disini